Rabu, 18 April 2012

KETIKA PENA INI (TIBA-TIBA) MENUMPUL


KETIKA PENA INI (TIBA-TIBA) MENUMPUL
Oleh : Moch. Ilyas al-Musthofa

Seperti biasa pagi ini, Menik – sapaan tenar Warti Sumenik -, menggosok pantofel tuanya menggunakan semir yang sedikit dibumbui dengan campuran remukan kayu areng dan air. Dengan dendangan khas perempuan, dia buat sepatu yang sudah lima tahun ini menjadi teman setianya ketika menjalankan tugas itu terlihat lebih mengkilap, sangar  dan tentu saja muda. Jarum jam sudah menunjukan angka 07.00 WIB, itu artinya lagi-lagi seperti hari sebelumnya dia tidak akan sempat menikmati sambal tempe penyet bakar racikan suaminya, Sutejo, untuk sarapan. Ya, biasanya jam 4 pagi gemerecak air sudah terdengar nyaring dari belakang rumahnya. Kali ini perempuan 31 tahun itu memang kembali bangun kesiangan, jam setengah enam matanya baru terbuka, itupun setelah bungsunya nangis minta telor ceplok. Sehingga hari ini dia tidak sempat mencuci pakaian kotor milik suami dan anak-anaknya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, suaminya yang sering beraktivitas terlebih dahulu, tidak pernah mau membangunkan sebelum dirinya benar-benar bangun sendiri, kecuali jarum jam sudah menunjukan angka setengah enam.
Begitulah keseharian Menik beberapa hari ini. Maklum, sebagai seorang wartawan perempuan salah satu koran terkemuka di kotanya, dirinya harus selalu berlomba dan membagi waktu agar program liputan yang sudah ia susun semalaman tidak berantakan karena gagal menemui nara sumber yang disasarnya, serta tanggung jawab sebagai seorang istri sekaligus ibu pun bisa tetap tertunaikan. Pagi ini, ia berencana melakukan sesi wawancara dengan pak Norman, seorang lurah sebuah desa yang rumornya hampir mayoritas warganya “berprofesi” sebagai penyamun. Begitulah yang sering mampir di telinganya mengenai desa pak Norman dari beberapa sumber terpercayanya. Aksi kekerasan, perampokan, pencurian, pencabulan  dan juga penjambretan yang belakangan kerap terjadi, konon pelakunya diduga berasal dari sebuah kelompok di desa pak Norman.
“Kok bisa ya profesi sebagai penyamun, apa benar. Kalau perempuan jadi wartawan sih biasa. Ah, aku tidak percaya jika tidak mengoreknya sendiri,” pikir Menik suatu hari sebelum akhirnya memutuskan untuk meliput di desa yang terkenal selektif terhadap orang luar dan masyarakatnya diduga juga kerap “doyan orang” itu.
Ya, beberapa bulan terakhir pihak keamanan di kota ini memang dibuat lebih sibuk dan kebakaran jenggot oleh ulah para penyamun yang nekat membikin geger masyarakat. Seolah ledekan bagi pihak kemanan, hampir setiap minggu terdengar berita perampokan, penjambretan bahkan pencabulan yang entah kebetulan atau tidak korbannya terindikasi sebagai pejabat wilayah itu. Mulai dari pak Tresno, kepala dinas yang harus rela lima emas batangannya raib saat rumah mewahnya ditinggal untuk menghadiri pesta hajatan seorang atasannya di sebuah hotel berbintang. Pak Kabur, yang seorang staf ahli dipaksa kehilangan Mercedes barunya ketika tengah santai sejenak berkaraoke di salah satu tempat hiburan malam. Belum lagi yang terbaru, rumah bu Susan, seorang wakil rakyat yang tengah melakukan kunjungan kerja keluar kota dengan menyertakan seluruh anggota keluarga, rumahnya disatroni kawanan perampok secara berjamaah. Akibatnya hampir semua barang berharga, mulai televisi jumbo, perhiasan, laptop, uang tunai dan bahkan beberapa potong pakaian dalam berbahan sutera pun dilaporkan juga raib digondol kawanan perampok. Bagi Menik, hal itu adalah aneh dan di luar kebiasaan. Pasalnya, sebelumnya kota yang sudah ia tinggali sejak kecil tersebut selalu aman dan terkendali, tanpa pernah ada kejadian “minim peradaban” itu.
“Mas, tolong ambilkan helm sama jaket di kamar sholat. Oh ya sekalian kartu pers tergantung di dinding sebelah komputer,” gembor Menik kepada suaminya sambil bergegas memancal stater manual motornya.
“Jaketnya dah seminggu belum dicuci dek, kemarin juga jatuh di lubang jalan berlumpur toh,” sahut Sutejo.
“Gak masalah, emang punyanya cuma itu,” jawab Menik sekenanya.
“Iya-iya sebentar, masa ga nyempatkan sarapan lagi toh dek? Dah beberapa hari ini lho, terus sambal ini buat siapa,“ balas Sutejo terdengar jutek.
“Dah siang mas, nanti malah gak ketemu sama pak Norman,” kilah Menik membela diri.
“Ah terserahlah, biar tak emplok sendiri sambal ini,” cetus Sutejo ketus sambil kembali ngeloyor ke dapur.
Mendengar suaminya kembali terserang virus jutek, Menik tak bergeming. Layaknya seorang lelaki, motor yang sudah menyala, ia permainkan gasnya untuk memanasi mesin. Sudah beberapa hari ini Menik dan Sutejo selalu terlibat perdebatan kecil mengenai hal-hal tidak biasa yang sering menghampiri mereka. Sutejo beranggapan peringai istrinya agak aneh dan berubah. Menik yang di mata Sutejo selalu bersifat santai, kalem, “nothing to lose” tetapi idealis akan setiap hal, kali ini memang terlihat beda. Perempuan yang dinikahinya delapan tahun silam itu sekarang lebih mudah uring-uringan, protektif akan setiap pendapat yang ia lontarkan serta yang paling aneh, sangat pragmatis. Karakter yang sebelumnya sama sekali tidak pernah melekat pada diri Menik, meskipun ia seorang perempuan.
“Apa karena akhir-akhir ini sering ngeliput perampokan ya,” pikirnya menerawang.
“Ah sudahlah yang terpenting tiap hari aku bisa berbagi tugas dengannya, ke pasar dan kadang masak, gitu aja kok repot,” hibur Sutejo dalam hati sambil melihat sang istri berlalu dengan motor buntutnya.
Begitulah kehidupan Menik dan Sutejo dalam kesehariannya. Menik yang seorang wartawan dan bertugas hampir setiap saat, harus bisa menunaikan dua tanggung-jawab yang sama-sama penting, sebagai pemburu berita dan juga istri serta ibu bagi anak-anak mereka. Sedangkan Sutejo, yang tiga tahun lebih tua dari Menik dan seorang guru ngaji serta pedagang tembakau di pasar pun harus legowo terkadang menyiapkan masakan dan mencuci pakaian atau mengajak si bungsu ikut berjualan. Hal itu mereka lakukan secara bergantian dan proporsional. Untungnya anak sulung mereka termasuk mandiri. Meskipun baru kelas 1 SD, ia sudah bisa menyiapkan segala kebutuhannya tanpa harus meminta bantuan berlebih kepada kedua orang tuanya. Semua itu mereka jalani dengan tanpa mempedulikan ke-kurang-laziman “bagi tugas” mereka di mata masyarakat pada umumnya. “Persetan dengan ke-kurang-laziman,” gumam Sutejo suatu hari.

******

“Pak bagaimana sebenarnya latar belakang masyarakat di sini kok sampai terdengar rumor kurang mengenakan di luar sana,?” tanya Menik kepada lurah Norman mengakhiri basa-basi.
Mendengar pertanyaan serius dari wartawan perempuan itu, pak Norman sedikit mengerutkan kening pertanda dia cukup berpikir keras untuk mengeluarkan sebuah jawaban. Tatapannya menerawang seolah ingin meminta jawaban dari sepoi angin pagi. Rokok kretek yang melekat di antara jemari tuanya kembali ia hisap dalam-dalam dan dihembuskan asap tebal dari mulutnya ke langit-langit kantor kelurahan yang masih berdinding papan itu.
“Begini mbak, saya sebagai lurah juga merasa dilematis menyikapi hal itu. Jujur kabar yang tersiar di luar sana, saya dan semua masyarakat pun juga sudah mendengarnya. Memang benar adanya, sudah sejak dulu, bahkan puluhan tahun yang lalu masyarakat di sini tergolong apatis dengan orang luar, keras dan mudah tersinggung, apalagi yang ada kaitannya dengan birokrasi. Bahkan sudah menjadi rahasia umum beberapa dedengkot bandit di kota ini memang berasal dari masyarakat sini.  Maklum mbak, banyak di antara mereka yang SD saja tidak sampai lulus, jadi otaknya rada kurang encer,” jawab lurah Norman hati-hati.
“Kalau kabar yang berkembang mengenai beberapa aksi di luar belakangan ini yang katanya ada kaitannya dengan masyarakat sini bagaimana pak,” tanya Menik lagi sedikit menyembunyikan penasaran.
“Ah, itu kan hanya rumor, masa anda juga percaya begitu saja dengan berita itu. Itu kan karena koran dan para pejabat yang mengait-ngaitkan agar kesalahan-kesalahan mereka bisa tertutupi dengan berita lain,” sanggah lurah Norman sedikit sinis.
Mendengar jawaban lurah yang mulai kurang bersahabat membuat Menik sedikit ciut nyali. Kembali terbayang dalam benaknya akan rumor karakter negatif mengenai masyarakat di situ seperti yang tadi ditegaskan oleh sang lurah.
“Anda yakin pak bahwa semua itu tidak benar, bukannya tadi anda sendiri yang mengatakan kalau ada beberapa dedengkot bandit yang memang masyarakat sini,?” lanjut Menik memberanikan diri menimpali sanggahan lurah.
“Sudahlah mbak, sudah banyak orang menelepon dan mengaku-ngaku dari media menanyakan hal yang selalu sama, hanya tentang karakter masyarakat di sini, tapi mereka tidak pernah berani datang langsung ke sini. Sebenarnya maunya apa toh, bukannya di sana juga banyak oknum pejabat yang koruptor, hedonis bahkan ada di antara mereka yang gemar berbuat asusila. Kenapa kok justru desa kami yang terus-terusan disorot. Begini saja, demi kebaikan bersama lebih baik mbak pulang dan anggap kita tidak pernah bertemu,” jelas lurah Norman sedikit tergetar emosi sambil meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di atas kamera Menik yang tergeletak di meja.
Belum sempat Menik bereaksi, dari luar kantor kelurahan datang beberapa orang berpenampilan sangar setangah berlari mendekatinya dirinya.
“Heh kamu wartawan ya? Mau apa, mau motret aku, mau nyeret aku ke penjara? Dasar perempuan, mendingan di rumah ngulek sambel buat suami kamu. Kamu mau tahu siapa yang garong rumahnya Trisno, Kabur dan Susan, aku orangnya. Mau tahu alasannya, karena merekalah yang sebenarnya penyamun rakyat. Silahkan catat, tulis kalau ingin leher suamimu terlepas dari tubuhnya, biar kamu merasakan jadi perempuan tanpa suami,” hardik salah seorang di antara mereka yang ternyata adalah si Codet, dedengkot bandit nomer satu di kota ini.

******

Jarum jam sudah menunjukan angka satu malam, namun mata Menik belum juga terpejam. Ia masih terngiang perdebatan kecil yang baru saja dilakoninya bersama suami tentang hal yang menimpanya siang tadi. Juga bagaimana galaknya si Codet yang siap melepaskan leher suaminya.
“Mas, mas, mas,” panggil Menik memanggil suaminya yang terbaring di sebelahnya.
“Ada apa lagi dek, sudah malam ayo tidur, bukannya besuk pagi kamu harus liputan. Nanti malah gak sempat sarapan lagi,” sahut Sutejo sambil mengelus lembut rambut Menik.
Trenyuh hati Menik melihat kearifan hati suaminya. Ditempelkan pipinya di dada sang suami. Kembali teringat bagaimana suaminya memberikan motivasi dan mendorongnya untuk tetap berani saat ia menceritakan omongan lurah Norman dan raja bandit, si Codet.
“Mas mulai besuk pagi aku mau berhenti jadi wartawan. Aku hanya ingin nulis artikel dan buku saja, biar tiap pagi bisa tetap nyuci baju dan siapkan sambal tempe penyet bakar buat kamu, karena aku istrimu mas,” bisik Menik lirih sambil mempererat pelukan dan kembali menempelkan pipi kirinya di atas dada sang suami.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sutejo. Hanya balasan pelukan dari Sutejo yang Menik rasakan. Sejenak hanya terdengar nyanyian binatang malam yang bersahutan hingga akhirnya adzan subuh selesai berkumandang saat Sutejo sudah mendapati di meja makan terhidang secoek sambal tempe penyet bakar dan sewakul nasi liwet, juga tidak ketinggalan secangkir kopi luak kesukaannya.
“Hemm, Menik memang istriku,” gumam Sutejo dalam hati. 

*) Cerita ini hanya fiktif dan tidak pernah bermaksud menyinggung pihak manapun. Semoga akan selalu muncul Kartini-Kartini lain di kota ini, karena sosoknya bukan hanya sekedar simbol dari perempuan.

Senin, 09 April 2012

KURSUS UNTUK BIAYAI KULIAH


KURSUS UNTUK BIAYAI KULIAH

     Rembang- Perawakannya sedikit seram, dengan berewok  dan janggut yang acapkali ia biarkan terurai panjang tak beraturan membuat kesan “sudah tua” melekat pada dirinya. Mimik wajahnya yang sering terlihat serius juga seolah memperlihatkan betapa ia selalu berpikir  dan berusaha tak kenal waktu. Juga gaya bicaranya yang sedikit irit menambah karakter bahwa ia lebih suka bertindak dari pada mengoceh. Itulah sosok M Abdullah Lutfi (28), mahasiswa semester 2 jurusan pendidikan bahasa Inggris Universitas Ronggolawe, Tuban yang sudah sekitar setengah tahun membuka tempat kursus bahasa Inggris di Jatirogo, Tuban.
M. ABDULLAH LUTFI (28)
     Saat berbincang dengan wartawan koran ini, Jumat (5/4), di tempat kursusnya, ia dengan terus terang mengatakan bahwa dirinya sengaja membuka tempat kursus bahasa Inggris, selain demi membantu memberikan pemahaman bahasa kepada anak-anak usia sekolah, juga sebagai penopang untuk membiayai kuliahnya yang baru seumur jagung.
     “Memang tujuan pertama saya buka kursusan adalah demi membantu anak-anak sekolah memahamkan dan mengembangkan potensi yang belum atau sudah dimiliki oleh mereka. Namun tujuan saya yang kedua adalah ‘money’, ya uang untuk biaya kuliah saya,” tuturnya sambil sedikit terkekeh.
     Sesungguhnya, bujang yang berulang tahun setiap tanggal 8 November itu sudah “terlambat” untuk masuk di bangku kuliah. Pasalnya sejak keluar dari salah satu sekolah negeri di Rembang pada tahun 2002 silam dirinya memutuskan untuk memperdalam ilmu agamanya dengan nyantri di pondok pesantren Al-Anwar asuhan KH Maimun Zubaer, Sarang.
     “Pada saat keluar aliyah pada tahun 2002, saya lanjutkan ngalap bekah di pondok Al-Anwar, Sarang. Di sana saya kerasan hanya sampai tahun 2009,” kenangnya.
     Nah, setelah keluar dari pondok itulah, dirinya mulai terobsesi untuk mencoba menggali potensi bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare, Kediri. Saat itu, hanya ada satu niat yang ada dalam hatinya, dia ingin tahu lebih dalam tentang bahasa Inggris.
     “Saya di Pare, mulai tahun 2009 sampai 2010, dan setelah itu alhamdulilah ya, saya diterima untuk menjadi salah satu tutor bahasa Inggris di Kalimantan. Di sana (Kalimantan) selama satu tahun. Setelah itu ya seperti ini saya bikin kursusan sendiri untuk biaya kuliah,” katanya samabil kembali tersenyum bangga.
     Apa yang diharapkan oleh Lutfi yang membuka tempat kursus untuk membiayai kuliah sepertinya tidak bertepuk sebelah tangan. Belum genap satu tahun JEEC (Jatirogo English Education Center) – nama tempat kursusannya – berdiri, sudah sekitar 70 siswa lebih yang merasakan keahliannya mengajarkan bahasa Inggris. Dengan jumlah tersebut, tentu saat ini dia tidak terlalu pusing memikirkan uang kuliah yang harus ia “investasikan” di kampusnya pada tiap semester.
     “Siswa sekarang sekitar 70-an, mulai dari SD, SMP sampai SMA, dan tersebar dari Jatirogo sendiri, dan bahkan banyak yang berasal dari Sale. Alhamdulilah ya, saya bersyukur karena untuk sementara waktu saya tidak risau memikirkan biaya kuliah,” cetus penghobi permainan poker itu sedikit tertahan haru.
     Berkaitan dengan kegiatannya yang seorang mahasiswa sekaligus tutor bahasa Inggris dengan siswa tidak sedikit, dirinya tidak terlalu menganggap beban hal itu. Hal itu, justru membuat dirinya lebih bersemangat lagi menuanaikan 2 tanggung jawabnya yang tentu saja cukup menguras tenaga dan pikiran.
     “Saya sangat senang dan bangga manakala ada murid saya nanti bisa melebihi saya dalam bahasa Inggris. ‘it’s excelen’, sambungnya.
     Lutfi bercerita, setiap Senin, Selasa dan Rabu dirinya seolah harus berlomba dengan waktu agar dua tanggung jawabnya itu sama-sama tertunaikan. Pasalnya, pada hari-hari itu, dirinya harus berangkat pagi bersiap kuliah di Tuban yang jarak tempuh pulang pergi mencapai 130 km, dan sebelum pukul 13.30 harus sudah kembali stand by di ruang kurssannya, Jatirogo.
     “Pada hari-hari itu sesungguhnya penat luar biasa. Berangkat pagi ke Tuban untuk kuliah dengan jarak tempuh pulang pergi 130 km, dan sebelumnya jal setengah dua harus sudah kembali ke Jatirogo untuk mengajar, capek bos,” ungkapnya.
Setip hari dirinya dengan seorang diri harus mengajar selama tiga siff, yaitu pukul 13.30, 16.00 dan 18.30. saat ini harapannya hanya satu, semua muridnya yang ia posisikan seperti teman, semuanya mampu menguasai bahasa Inggris melebihi dirinya.
     “Jika hal itu benar-benar tercapai maka itulah imbalan sesungguhnya dari jerih payah saya selama ini,” imbuhnya mengakhiri perbincangan. (Ilyas)

Jumat, 16 Maret 2012

INI DIA 4 KARAKTER PEMIMPIN YANG BAIK


INI DIA 4 KARAKTER PEMIMPIN YANG BAIK

KH Haizul Maali kembali menyuarakan pendapat. Kali ini ulama berpengaruh Sedan, Rembang yang tidak pernah mau diambil gambarnya itu berpendapat mengenai 4 karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik.
Maali mengungkapkan, seorang pemimpin yang baik harus memiliki beberapa kriteria, pertama, seoarang pemimpin wajib peduli terhadap rakyatnya. dengan kata lain seoang pemimpin harus tahu apa dan bagaimana segala sesuatu dibutuhkan oleh rakyat, karena pemimpin menurutnya adalah pelayan rakyat.
“Pertama pemimpin yang baik itu harus memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib rakyatnya. semua hal yang diperlukan oleh rakyat, harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh pemimpin,” jelasnya.
Sedangkan kriteria selanjunya, kata Maali, seorang pemimpin harus bertindak berdasarkan azas manfaat. Azas manfaat yang dimaksud Maali adalah berhubungan dengan segala kebijakan yang dikeluarkannya yang harus sesuai dengan tujuan serta manfaat yang jelas.
“Sedangkan kriteria ketiga menurut saya, seorang pemimpin harus mementingkan kemaslahatan (kebaikan) rakyat. Jika aspek kemaslahatan di kedepankan, maka semua hal yang dilakukan oleh pemimpin melalui sebuah kebijakan akan bisa membawa kebaikan bagi semua orang,” terangnya.
Maali menjelaskan, selain tiga kriteria yang sudah disebut masih ada satu lagi yang juga harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu seorang pemimpin wajib jujur sesuai dengan kemampuan. Saat ditanya maksud dari kriteria keempat, ia dengan santai menjawab bahwa seorang pemimpin harus jujur dan apa-adanya dalam setiap bertindak dan menghasilkan sebuah keputusan. Keputusan yang dihasikan oleh seorang pemimpin, jelas dia, harus benar-benar mampu untuk menghasilkan perubahan dan perbaikan yang lebih dari sebelumnya.
Ia menambahkan, bahwa sosok pemimpin mutlak diperlukan dan sangat penting bagi kelangsungan hidup umat. Dirinya mencontohkan pada saat Nabi Muhamad wafat pada hari Senin, jenazah baru dimakamkan pada Selasa malam karena para sahabat menyiapkan dan mencari kata sepakat seputar pengganti Nabi.
“Itu adalah contoh bahwa sosok seorang pemimpin mutlak diperlukan, bagi siapapun dan dimanapun,” pangkasnya. (Ilyas)

KYAI HARUS BERPOLITIK


KYAI HARUS BERPOLITIK

Salah seorang ulama kenamaan Sedan KH Haizul Maali mengatakan bahwa sudah sepaturnya dan selayakanya seorang kyai harus berpolitik. Menurutnya hal itu sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus dilakukan oleh seorang kyai sebagai salah satu media berjuang.
Ulama karismatik itu mengungkapkan, kyai harus berpolitik jika politik diartikan sebagai membangun Negara karena membangun sebuah Negara juga diserukan oleh agama.
“Kyai memang harus berpolitik, namun ada tapinya, jika politik diartikan sebagai alat untuk membangun Negara. Jangan diartikan macam-macam,” katanya lantas tersenyum.
Kyai Maali juga menambahkan bahwa, pada konteksnya politik harus dimaknai sebagai sesuatu yang baik dan siapa saja bisa masuk di dalamnya. Melalui politik, kata Maali, maka semua kepentingan umat diatur dan diperjuangkan sesuai dengan semestinya.
“Tidak ada larangan politik bagi kyai karena pada dasarnya politik itu adalah untuk membangun Negara dan umat,” terangnya lagi.
Ia tidak khawatir para kyai akan mudah tergiur akan godaan-godaan yang sering muncul berkaitan dengan kegiatan polik praktis. Semua itu menurutnya justru akan menjadi tantangan dan obyek perjuangan kyai dalam meluruskan kebenaran.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan politik praktis. Jika kenyataannya banyak hal-hal buruk yang rentan mengiringinya, tentu hal itu akan menjadi obyek perjuangan kyai yang perlu diluruskan, nashnya kan jelas ‘amar ma’ruf nahi munkar’, memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan,” jelasnya.
Namun ia menegaskan bahwa seandainya siapapun itu takut dan khawatir tidak mampu melawan berbagai godaan yang rentan terjadi, maka lebih baiknya tidaak usah turut campur dalam politik praktis.
“Kalau khawatir tidak bisa menahan godaan ya, ga usah berpolitik praktis, mending di rumah saja. kalau itu kyai ya mending ‘ngulang ngaji’ santrinya,” pangkasnya. (Ilyas)

RUMAH 20 TAHUN ITU KINI TAK BERBEKAS


KISAH DI BALIK BENCANA CERBUNG
Tak berbekas : Samad bersama Kepala Dusun Cerbung, Muhadi saat melihat bekas rumahnya yang terhantam gelombang (6/3). Kondisi terkini (14/3), bekas bangunan rumah itu sudah tidak utuh lagi dan tersisa kurang dari separonya.

RUMAH 20 TAHUN ITU KINI TAK BERBEKAS

Di balik bencana abrasi yang melanda Dusun Cerbung, Temperak Sarang, banyak tersaji kisah-kisah memilukan dan “ngenes” menimpa warga setempat. Cukup banyak warga yang mengalami kisah itu, dan salah seorangnya adalah Samad (56), lelaki paroh baya itu harus merelakan rumah yang sudah ia tinggali bersama sang istri selama 20 tahun lenyap tak berbekas.
Kejadian itu bermula pada Selasa sore (6/3) sekitar pukul 16.00 WIB, saat Samad bersama sang istri tengah menunggui warung kopi sederhana miliknya yang terletak di pinggir jalan pantura Desa Temperak, Sarang. Tanpa disangka dirinya mendapati kabar dari salah seorang tetangga bahwa rumahnya roboh dihantam gelombang. Kontan, kabar itu baginya ibarat sambaran petir di siang bolong. Dengan setengah berlari, ia bersama istri bergegas menuju rumahnya yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari warung.
Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, ia mendapati rumah yang sudah menemaninya selama 20 tahun itu, luluh lantah dengan kerusakan hampir 90 %. Sedih, kecewa, marah, perasaan itu campur aduk menyesakan dadanya. Terlebih istrinya, Sumarsih (50) yang seketika itu langsung berlinang air mata.
“Meskipun semua warga sini sudah tahu bahwa gelombang besar sewaktu-waktu mengancam, namun saya tidak menyangka ternyata rumah yang menemani kami selama 20 tahun itu sudah tidak berbentuk lagi,” ceritanya sambil menerawang.
Setelah sejenak termenung seakan tidak percaya, ia bersama sejumlah warga sepakat untuk merobohkan rumahnya demi alasan keamanan, mengingat tingkat kerusakan cukup parah dan tidak mungkin lagi bisa ditinggali.
“Demi keamanan, dengan berat hati saya bersama sejumlah tetangga merobohkannya. Semua barang serta perabotan yang masih layak digunakan oleh istri saya dikumpulkan untuk keperluan hidup selanjutnya. Rasanya sedih mas saat melihat rumah itu roboh, bagaimanapun juga itulah gubuk yang sudah menemani kami selama 20 tahun,” kata Samad yang juga nyambi sebagai buruh tani musiman ini.
Samad merasa dirinya beruntung dan harus tetap bersyukur, pasalnya saat ini dia masih memiliki warung kopi kecil, tempat dia bersama istri mengepulkan dapur. Untuk sementara waktu, ia merelakan dirinya bersama istri “me-multi-fungsikan” warung kecil miliknya, sebagai warung sekaligus juga sebagai gubuk pelindung dari panas dan hujan.
“Untuk sementara waktu kami harus rela tinggal di warung, dan hal itu tetap kami syukuri,” cetus bapak lima anak ini pasrah.
Kini perasaan bingung sudah mulai menyelimuti hatinya. Dirinya takut dan khawatir tidak bisa lagi mendirikan bangunan di bekas rumahnya yang hilang. Kebingunngan Samad cukup beralasan, karena kondisi terkini, Rabu (14/3), tanah bekas bangunannya sudah tidak utuh lagi dan hanya tersisa kurang dari separonya.
“Bagaimana tidak bingung mas, bekas bangunan rumah saya saja sudah tidak utuh lagi. Jujur saja saya kepikiran hal itu, dari mana saya harus mendapatkan biaya untuk memperbaikinya kembali. Apalagi tanahnya sudah separo lebih tergerus, tentu biaya tidak sedikit. Rasanya tanpa bantuan berbagai pihak sulit menjadikan rumah saya seperti kondisi semula,” keluhnya.
Kini, hanya satu harapannya, dan sangat mungkin harapan semua warga Dusun Cerbung. Samad berharap dengan cara apapun penanggulangan abrasi Cerbung benar-benar sesegera mungkin dilakukan oleh semua pihak terkait dan bukan hanya sekedar wacana, sehingga dirinya bersama warga lainnya bisa kembali hidup normal seperti dulu, saat gelombang dasyat belum datang menjamah. (Ilyas)

Rabu, 14 Maret 2012

AKIBAT BPBD LAMBAN


AKIBAT BPBD LAMBAN

Lamban : Salah satu sudut makam di Dusun Cerbung yang tergerus akibat lambannya penanganan bencana dari pemerintah. Pada tahun 2010 beberapa jenazah terangkat ke permukaan karena abrasi.
Semakin parah dan meluasnya bencana yang melanda Dusun Cerbung Desa Temperak Sarang dinilai oleh sejumlah pihak karena BPBD, selaku lembaga penanggulangan bencana daerah terkesan lamban memberikan respon sejak bencana pertama datang. Bahkan menurut sejumlah sumber terpercaya koran ini, sejatinya bencana di dusun tersebut sudah berlangsung sejak tahun 2009 dan belum ada upaya penanggulangan berarti.
Kali ini, Danramil 14 Sarang, Piter Kasi yang bersuara keras. Menurutnya pemerintah ataupun BPBD sudah tergolong telat menangani Cerbung sehingga dampaknya meluas dan semakin parah seperti saat ini. Piter berpendapat, jika deteksi bencana sudah dilakukan sejak awal ia yakin dampak abrasi tidak separah sekarang.
“Lamban dan sangat lamban. Bencana sudah ada sejak 2009 dan selama itu hanya penanaman karung-karung pasir yang diupayakan, sementara penanganan dengan sifat lebih permanen belum pernah dilakukan. Kalau memang pada waktu bencana awal BPBD belum terbentuk semestinya bisa dilakukan langsung oleh kabupaten melalui dinas terkait,” katanya lantang.
Ia sangat menyayangkan lambannya penanganan Cerbung karena dampak hantaman gelombang tidak  akan separah sekarang jika dilakukan upaya tepat lebih awal. Bahkan, menurut Piter, semestinya segala sesuatunya sudah dipersiapakan oleh BPBD sejak Februari silam saat gelombang dasyat kembali merusak sebagian rumah warga.
“Masa pemerintah tidak tahu ada wilayahnya yang terancam habis. Kalau memang pada saat itu (awal bencana) dana penanggulangan belum ada, ya dicarikan talangan dulu lah, orang semuanya demi masyarakat. Sekarang sudah telat, bahkan pada tahun 2010 silam jenazah bergelimpangan di makam karena terhantam gelombang,” sindir komandan asal Makasar ini.
Piter juga berpandangan durasai waktu dua bulan yang dijanjikan pemerintah sangat tidak selaras dengan kuantitas ancaman gelombang yang terus-menerus menyerang. Tidak menutup kemungkinan, jelas dia, jika cuaca tetap seperti ini dan hantaman gelombang terus menerus terjadi, tidak butuh waktu lama rumah-rumah warga di sebelah pantai akan habis.
“Coba anda lihat, tadi pagi abrasi masih di sini dan sekarang sudah meluas lagi. Mana mungkin bisa dibiarkan selama 2 bulan,” sebutnya sambil menunjukan bekas abrasi yang baru saja terjadi.
Selama ini, jelas Piter, pihaknya dan sejumlah warga sudah mengusahakan penanggulan sementara untuk penahan gelombang, seperti penanaman karung pasir di belakang rumah-rumah warga.
 “Sejauh ini hanya penanaman karung pasir yang kita lakukan dan ada beberapa warga mampu mengusahakan sendiri pemasangan batu di belakang rumahnya. Kalau dijumlah sejak 2009, sudah 3000-an karung pasir kita tanam.
Dirinya berharap semua pihak, termasuk kalangan warga bersatu saling membantu demi meminimalisir dampak bencana yang sudah terlanjur terjadi. Sehingga upaya-upaya antisipasi bencana yang lebih besar bisa mudah dilakukan. (Ilyas)

KABUPATEN SIAPKAN DUA OPSI PENANGANAN CERBUNG

KABUPATEN SIAPKAN DUA OPSI PENANGANAN CERBUNG  
 WABUP JANJIKAN 2 BULAN CLEAR

Survei : Rombongan wakil bupati Rembang Abdul Hafidz di Cerbung

Berkaitan dengan bencana abrasi di Dusun Cerbung, Desa Temperak Sarang, wakil bupati Rembang, Abdul Hafidz mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten saat ini tengah menyiapkan dua opsi utama dalam upaya penanganan bencana tersebut. Dua opsi itu terdiri dari jangka pendek dan juga jangka panjang. Penanganan jangka pendek, pemerintah akan menyiapkan pemecah gelombang atau “breakwater” yang akan dipasang dengan menyesuaikan kondisi lapangan. Sedangkan penanganan jangka panjang adalah menyiapkan relokasi bagi warga Cerbung agar terbebas selamanya dari ancaman gelombang air laut.
Wabup menjelaskan, opsi pertama yang akan dicoba adalah pemasangan pemecah gelombang yang dihatapkan bisa mengurangi kerasnya air laut saat menyentuh bibir pantai, sehingga hal itu tidak sampai berdampak kepada pemukiman warga. Jika opsi pertama dirasa kurang efektif, kata wabup, pemerintah juga akan mencoba melakukan upaya relokasi dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
“Untuk sementara dua opsi itu yang akan kita coba dalam penangan bencana Cerbung. Opsi pertama, kita pasang pemecah gelombang, jika hal itu kurang efektif maka kita akan beralih melakukan opsi selanjutnya, yaitu relokasi,” jelasnya kepada wartawan.
Ia juga menyatakan, saat ini dana penanggulangan sudah ada dan siap untuk disalurkan. Semua itu, jelasnya, harus mengikuti prosedur aturan dan mekanisme yang berlaku dalam tatanan pemerintahan. Namun, orang nomor dua di Kabupaten Rembang itu berani menjanjikan penanganan Cerbung maksimal 2 bulan sudah dilakukan.
“Uang sudah ada, namun semua itu tentu ada mekanisme yang harus diikuti, tidak asal mengeluarkan dana karena bukan uang milik pribadi, tetapi milik Negara. Insya Allah maksimal dua bulan sudah ada penanganan, syukur-syukur sebelum itu,” terangnya di sela-sela dialog dengan warga.
Wabup mengakui dalam penanganan bencana Cerbung, selain mekanisme, juga ada beberapa kendala lagi yang saat ini menjadi batu sandungan. Beberapa di antaranya adalah masih seringgnya turun hujan sehingga batu-batu besar sebagai bahan utama pemecah gelombang sulit didatangkan, serta masih pasangnya air laut yang tentu bisa menghambat pemasangan “breakwater”.
“Memang ada beberapa kendala yang menghambat penanggulangan, beberapa di antaranya adalah masih seringnya turun hujan serta belum redanya air pasang,” sebutnya.
Namun demikian, ia optimis upaya penanggulangan bisa segera dilakukan dan akan selalu diupayakan oleh pemerintah. Bahkan, dirinya juga akan mengusahakan untuk mendorong para pengusaha di Rembang agar bersama-sama memberikan solusi serta perhatian kepada warga Rembang yang terkena bencana, termasuk warga di Dusun Cerbung.
Untuk itu, sambil menunggu realisasi penanggulana, dirinya meminta sementara waktu warga rela mengungsi pada tempat yang sudah disiapkan. Sehingga hal-hal yang lebih buruk tidak sampai terjadi.
“Sambil menunggu penanggulangan, saya harap warga rela mengungsi pada tempat-tempat yang nanti disiapkan. Mudah-mudahan semuanya cepat selesai sehingga warga kembali tenang dan tentram,” pangkasnya.
Sementara itu pada kesempatan berbeda, kepala BPBD, Suharso, menjelaskan segaala bentuk penangan bencana Cerbung harus melalui mekanisme yang berlaku. Suharso menyebutkan, kabupaten, melalui BPBD, sudah menyiapkan dana sebesar 313 juta untuk penanggulangan fisik bencana Cerbung.
“Anggaran untuk sini (Cerbung) 313 juta, itu hanya fisik belum termasuk non fisik,” sebutnya singkat. (Ilyas)