KETIKA PENA INI
(TIBA-TIBA) MENUMPUL
Oleh : Moch. Ilyas
al-Musthofa
Seperti biasa
pagi ini, Menik – sapaan tenar Warti Sumenik -, menggosok pantofel tuanya
menggunakan semir yang sedikit dibumbui dengan campuran remukan kayu areng dan
air. Dengan dendangan khas perempuan, dia buat sepatu yang sudah lima tahun ini
menjadi teman setianya ketika menjalankan tugas itu terlihat lebih mengkilap,
sangar dan tentu saja muda. Jarum jam
sudah menunjukan angka 07.00 WIB, itu artinya lagi-lagi seperti hari sebelumnya
dia tidak akan sempat menikmati sambal tempe penyet bakar racikan suaminya, Sutejo,
untuk sarapan. Ya, biasanya jam 4 pagi gemerecak air sudah terdengar nyaring
dari belakang rumahnya. Kali ini perempuan 31 tahun itu memang kembali bangun
kesiangan, jam setengah enam matanya baru terbuka, itupun setelah bungsunya
nangis minta telor ceplok. Sehingga hari ini dia tidak sempat mencuci pakaian
kotor milik suami dan anak-anaknya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, suaminya
yang sering beraktivitas terlebih dahulu, tidak pernah mau membangunkan sebelum
dirinya benar-benar bangun sendiri, kecuali jarum jam sudah menunjukan angka
setengah enam.
Begitulah keseharian
Menik beberapa hari ini. Maklum, sebagai seorang wartawan perempuan salah satu
koran terkemuka di kotanya, dirinya harus selalu berlomba dan membagi waktu
agar program liputan yang sudah ia susun semalaman tidak berantakan karena gagal
menemui nara sumber yang disasarnya, serta tanggung jawab sebagai seorang istri
sekaligus ibu pun bisa tetap tertunaikan. Pagi ini, ia berencana melakukan sesi
wawancara dengan pak Norman, seorang lurah sebuah desa yang rumornya hampir
mayoritas warganya “berprofesi” sebagai penyamun. Begitulah yang sering mampir
di telinganya mengenai desa pak Norman dari beberapa sumber terpercayanya. Aksi
kekerasan, perampokan, pencurian, pencabulan dan juga penjambretan yang belakangan kerap
terjadi, konon pelakunya diduga berasal dari sebuah kelompok di desa pak
Norman.
“Kok bisa ya
profesi sebagai penyamun, apa benar. Kalau perempuan jadi wartawan sih biasa. Ah,
aku tidak percaya jika tidak mengoreknya sendiri,” pikir Menik suatu hari
sebelum akhirnya memutuskan untuk meliput di desa yang terkenal selektif
terhadap orang luar dan masyarakatnya diduga juga kerap “doyan orang” itu.
Ya, beberapa bulan
terakhir pihak keamanan di kota ini memang dibuat lebih sibuk dan kebakaran
jenggot oleh ulah para penyamun yang nekat membikin geger masyarakat. Seolah ledekan
bagi pihak kemanan, hampir setiap minggu terdengar berita perampokan,
penjambretan bahkan pencabulan yang entah kebetulan atau tidak korbannya
terindikasi sebagai pejabat wilayah itu. Mulai dari pak Tresno, kepala dinas
yang harus rela lima emas batangannya raib saat rumah mewahnya ditinggal untuk
menghadiri pesta hajatan seorang atasannya di sebuah hotel berbintang. Pak
Kabur, yang seorang staf ahli dipaksa kehilangan Mercedes barunya ketika tengah
santai sejenak berkaraoke di salah satu tempat hiburan malam. Belum lagi yang
terbaru, rumah bu Susan, seorang wakil rakyat yang tengah melakukan kunjungan
kerja keluar kota dengan menyertakan seluruh anggota keluarga, rumahnya disatroni
kawanan perampok secara berjamaah. Akibatnya hampir semua barang berharga,
mulai televisi jumbo, perhiasan, laptop, uang tunai dan bahkan beberapa potong
pakaian dalam berbahan sutera pun dilaporkan juga raib digondol kawanan perampok.
Bagi Menik, hal itu adalah aneh dan di luar kebiasaan. Pasalnya, sebelumnya kota
yang sudah ia tinggali sejak kecil tersebut selalu aman dan terkendali, tanpa
pernah ada kejadian “minim peradaban” itu.
“Mas, tolong
ambilkan helm sama jaket di kamar sholat. Oh ya sekalian kartu pers tergantung
di dinding sebelah komputer,” gembor Menik kepada suaminya sambil bergegas
memancal stater manual motornya.
“Jaketnya dah
seminggu belum dicuci dek, kemarin juga jatuh di lubang jalan berlumpur toh,”
sahut Sutejo.
“Gak masalah,
emang punyanya cuma itu,” jawab Menik sekenanya.
“Iya-iya
sebentar, masa ga nyempatkan sarapan lagi toh dek? Dah beberapa hari ini lho,
terus sambal ini buat siapa,“ balas Sutejo terdengar jutek.
“Dah siang mas,
nanti malah gak ketemu sama pak Norman,” kilah Menik membela diri.
“Ah
terserahlah, biar tak emplok sendiri sambal ini,” cetus Sutejo ketus sambil kembali
ngeloyor ke dapur.
Mendengar suaminya
kembali terserang virus jutek, Menik tak bergeming. Layaknya seorang lelaki, motor
yang sudah menyala, ia permainkan gasnya untuk memanasi mesin. Sudah beberapa
hari ini Menik dan Sutejo selalu terlibat perdebatan kecil mengenai hal-hal
tidak biasa yang sering menghampiri mereka. Sutejo beranggapan peringai istrinya
agak aneh dan berubah. Menik yang di mata Sutejo selalu bersifat santai, kalem,
“nothing to lose” tetapi idealis akan setiap hal, kali ini memang terlihat
beda. Perempuan yang dinikahinya delapan tahun silam itu sekarang lebih mudah uring-uringan,
protektif akan setiap pendapat yang ia lontarkan serta yang paling aneh, sangat
pragmatis. Karakter yang sebelumnya sama sekali tidak pernah melekat pada diri Menik,
meskipun ia seorang perempuan.
“Apa karena
akhir-akhir ini sering ngeliput perampokan ya,” pikirnya menerawang.
“Ah sudahlah
yang terpenting tiap hari aku bisa berbagi tugas dengannya, ke pasar dan kadang
masak, gitu aja kok repot,” hibur Sutejo dalam hati sambil melihat sang istri
berlalu dengan motor buntutnya.
Begitulah
kehidupan Menik dan Sutejo dalam kesehariannya. Menik yang seorang wartawan dan
bertugas hampir setiap saat, harus bisa menunaikan dua tanggung-jawab yang
sama-sama penting, sebagai pemburu berita dan juga istri serta ibu bagi anak-anak
mereka. Sedangkan Sutejo, yang tiga tahun lebih tua dari Menik dan seorang guru
ngaji serta pedagang tembakau di pasar pun harus legowo terkadang menyiapkan
masakan dan mencuci pakaian atau mengajak si bungsu ikut berjualan. Hal itu mereka
lakukan secara bergantian dan proporsional. Untungnya anak sulung mereka
termasuk mandiri. Meskipun baru kelas 1 SD, ia sudah bisa menyiapkan segala
kebutuhannya tanpa harus meminta bantuan berlebih kepada kedua orang tuanya. Semua
itu mereka jalani dengan tanpa mempedulikan ke-kurang-laziman “bagi tugas”
mereka di mata masyarakat pada umumnya. “Persetan dengan ke-kurang-laziman,”
gumam Sutejo suatu hari.
******
“Pak
bagaimana sebenarnya latar belakang masyarakat di sini kok sampai terdengar
rumor kurang mengenakan di luar sana,?” tanya Menik kepada lurah Norman mengakhiri
basa-basi.
Mendengar
pertanyaan serius dari wartawan perempuan itu, pak Norman sedikit mengerutkan
kening pertanda dia cukup berpikir keras untuk mengeluarkan sebuah jawaban. Tatapannya
menerawang seolah ingin meminta jawaban dari sepoi angin pagi. Rokok kretek
yang melekat di antara jemari tuanya kembali ia hisap dalam-dalam dan
dihembuskan asap tebal dari mulutnya ke langit-langit kantor kelurahan yang
masih berdinding papan itu.
“Begini mbak,
saya sebagai lurah juga merasa dilematis menyikapi hal itu. Jujur kabar yang
tersiar di luar sana, saya dan semua masyarakat pun juga sudah mendengarnya.
Memang benar adanya, sudah sejak dulu, bahkan puluhan tahun yang lalu
masyarakat di sini tergolong apatis dengan orang luar, keras dan mudah
tersinggung, apalagi yang ada kaitannya dengan birokrasi. Bahkan sudah menjadi
rahasia umum beberapa dedengkot bandit di kota ini memang berasal dari masyarakat
sini. Maklum mbak, banyak di antara
mereka yang SD saja tidak sampai lulus, jadi otaknya rada kurang encer,” jawab
lurah Norman hati-hati.
“Kalau kabar
yang berkembang mengenai beberapa aksi di luar belakangan ini yang katanya ada
kaitannya dengan masyarakat sini bagaimana pak,” tanya Menik lagi sedikit
menyembunyikan penasaran.
“Ah, itu kan
hanya rumor, masa anda juga percaya begitu saja dengan berita itu. Itu kan
karena koran dan para pejabat yang mengait-ngaitkan agar kesalahan-kesalahan
mereka bisa tertutupi dengan berita lain,” sanggah lurah Norman sedikit sinis.
Mendengar
jawaban lurah yang mulai kurang bersahabat membuat Menik sedikit ciut nyali.
Kembali terbayang dalam benaknya akan rumor karakter negatif mengenai
masyarakat di situ seperti yang tadi ditegaskan oleh sang lurah.
“Anda yakin
pak bahwa semua itu tidak benar, bukannya tadi anda sendiri yang mengatakan
kalau ada beberapa dedengkot bandit yang memang masyarakat sini,?” lanjut Menik
memberanikan diri menimpali sanggahan lurah.
“Sudahlah
mbak, sudah banyak orang menelepon dan mengaku-ngaku dari media menanyakan hal
yang selalu sama, hanya tentang karakter masyarakat di sini, tapi mereka tidak
pernah berani datang langsung ke sini. Sebenarnya maunya apa toh, bukannya di
sana juga banyak oknum pejabat yang koruptor, hedonis bahkan ada di antara
mereka yang gemar berbuat asusila. Kenapa kok justru desa kami yang
terus-terusan disorot. Begini saja, demi kebaikan bersama lebih baik mbak
pulang dan anggap kita tidak pernah bertemu,” jelas lurah Norman sedikit
tergetar emosi sambil meletakkan beberapa lembar ratusan ribu di atas kamera
Menik yang tergeletak di meja.
Belum sempat
Menik bereaksi, dari luar kantor kelurahan datang beberapa orang berpenampilan
sangar setangah berlari mendekatinya dirinya.
“Heh kamu
wartawan ya? Mau apa, mau motret aku, mau nyeret aku ke penjara? Dasar
perempuan, mendingan di rumah ngulek sambel buat suami kamu. Kamu mau tahu
siapa yang garong rumahnya Trisno, Kabur dan Susan, aku orangnya. Mau tahu
alasannya, karena merekalah yang sebenarnya penyamun rakyat. Silahkan catat,
tulis kalau ingin leher suamimu terlepas dari tubuhnya, biar kamu merasakan
jadi perempuan tanpa suami,” hardik salah seorang di antara mereka yang
ternyata adalah si Codet, dedengkot bandit nomer satu di kota ini.
******
Jarum jam
sudah menunjukan angka satu malam, namun mata Menik belum juga terpejam. Ia
masih terngiang perdebatan kecil yang baru saja dilakoninya bersama suami
tentang hal yang menimpanya siang tadi. Juga bagaimana galaknya si Codet yang
siap melepaskan leher suaminya.
“Mas, mas,
mas,” panggil Menik memanggil suaminya yang terbaring di sebelahnya.
“Ada apa lagi
dek, sudah malam ayo tidur, bukannya besuk pagi kamu harus liputan. Nanti malah
gak sempat sarapan lagi,” sahut Sutejo sambil mengelus lembut rambut Menik.
Trenyuh hati
Menik melihat kearifan hati suaminya. Ditempelkan pipinya di dada sang suami.
Kembali teringat bagaimana suaminya memberikan motivasi dan mendorongnya untuk
tetap berani saat ia menceritakan omongan lurah Norman dan raja bandit, si Codet.
“Mas mulai
besuk pagi aku mau berhenti jadi wartawan. Aku hanya ingin nulis artikel dan
buku saja, biar tiap pagi bisa tetap nyuci baju dan siapkan sambal tempe penyet
bakar buat kamu, karena aku istrimu mas,” bisik Menik lirih sambil mempererat
pelukan dan kembali menempelkan pipi kirinya di atas dada sang suami.
Tidak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sutejo. Hanya balasan pelukan dari
Sutejo yang Menik rasakan. Sejenak hanya terdengar nyanyian binatang malam yang
bersahutan hingga akhirnya adzan subuh selesai berkumandang saat Sutejo sudah
mendapati di meja makan terhidang secoek sambal tempe penyet bakar dan sewakul
nasi liwet, juga tidak ketinggalan secangkir kopi luak kesukaannya.
“Hemm, Menik
memang istriku,” gumam Sutejo dalam hati.
*)
Cerita ini hanya fiktif dan tidak pernah bermaksud menyinggung pihak manapun.
Semoga akan selalu muncul Kartini-Kartini lain di kota ini, karena sosoknya
bukan hanya sekedar simbol dari perempuan.