Jumat, 17 Februari 2012

CATUR DAPAT HADIAH “JETUTAN” DAN “GREKUKAN”



CATUR DAPAT HADIAH “JETUTAN” DAN “GREKUKAN”

Rembang- Apa yang menjadi kebiasaan beberapa pemuda pada salah satu warung kopi di Kecamatan Sedan ini sepertinya cukup unik dan lucu. Karena mayoritas pemuda setempat penghobi catur, maka mereka sepakat setiap permainan catur yang digelar, pemenangnya akan mendapatkan “jetutan” (menarik jari tangan dan kaki sampai otot bunyi) dan “grekukan” (menekan punggung sampai otot berbunyi) dari lawannya.
Menurut salah seorang pemuda setempat, M. Ilham (30), Kamis (16/2), hal itu ia lakukan bersama kebanyakan rekannya untuk menambah gengsi permainan. Ilham menjelaskan, permainan catur yang ia lakukan bersama rekan-rekannya biasanya berlangsung beberapa kali sampai benar-benar merasa capek, dan setiap satu kali permainan, pemenangnya akan mendapatkan “jetutan”, mulai dari jemari tangan hingga “grekukan” pada punggung dari sang lawan.
“Pokoknya setiap menang mendapatkan ‘jetutan’, jika menang pertama 10 jari tangan yang ‘dijetut’ dan andai memenangkan lagi 10 jari kaki. Jika setelah itu menang lagi maka punggung pemenang akan ‘digrekuk’ (ditekan hingga bunyi),” katanya.
Bagaimana setelah “digrekuk” menang lagi, mungkin saja pemenangnya akan bingung dan tidak akan mau menyodorkan kepala kepada lawannya untuk “diplintir” biar bunyi. (Ilyas)

PEREMPUAN MEMANG BEDA, TAPI JANGAN DIBEDA-BEDAKAN


“PEREMPUAN MEMANG BEDA, TAPI JANGAN DIBEDA-BEDAKAN”

Rembang- Ungkapan menarik dilontarkan oleh Sri Wahyuni, Kepala Bidang Sosial Dan Budaya (Kabid Sosbud) Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Rembang dalam sambutannya pada acara Musyawarah dan Perencanaan Pembangunan Tingkat Kecamatan (Musrenbangcam) Kecamatan Sedan, Senin (12/2). Wahyuni mengungkapkan bahwa perempuan memang memiliki kodrat berbeda dengan laki-laki, tetapi dalam beberapa hal hendaknya jangan dibeda-bedakan.
“Perempuan memang beda, tapi jangan dibeda-bedakan,” ungkapnya serius.
Sontak saja ungkapan dengan tendensi kesetaraan gender tersebut disambut tepuk tangan meriah oleh sebagian kaum hawa yang juga turut hadir sebagai peserta musrenbangcam. Wahyuni menekankan, sudah saatnya dalam era sekarang perempaun harus dilibatkan pada semua tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan sampai eksekusi kebijakan.
“Perempuan dan laki-laki memang beda, namun peran dalam bidang pembangunan harus sama,” tambahnya lagi.
Wahyuni berpendapat, saat ini bukan jamannya lagi bagi laki-laki bersikap “superior” terhadap perempuan. Menurutnya perbedaan yang terdapat pada diri laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal justru akan menjadi kolaborasi menarik dan efektif terkait kerja sama serta berbagi peran, terutama menyangkut bidang pembangunan multi-dimensi.
Secara terpisah, Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Sedan, Suswantoro, sangat sepakat dengan “kampanye” kesetaraan gender yang dilontarkan oleh Sri Wahyuni. Menurutnya, konsep kesetaraan gender pada praktiknya harus diiringi pula dengan kesamaan berbagai bekal keahlian yang diberikan, baik kepada kaum adam maupun kaum hawa.
“Saya sangat mendukung,” tambahnya singkat. (Ilyas)

PEMIMPIN HASIL MONEY POLITIC TAK WAJIB DITAATI


PEMIMPIN HASIL MONEY POLITIC TAK WAJIB DITAATI

Rembang- Salah seorang tokoh agama Kecamatan Sedan, Rembang KH Zakki Mawardi, Kamis (16/2), mengemukakan bahwa mentaati seorang pemimpin yang dalam proses pemilihannya menggunakan pendekatan money politic secara agama hukumnya tidak wajib. Hal itu menurutnya sama saja hukumnya dengan suap yang secara jelas dalam agama tidak diperbolehkan.
“Money politic secara kontekstual sama seperti suap dan suap secara jelas dilarang dalam agama. Dalam hadist nabi sudah dijelaskan ‘arsyi wal murtasyi fi nar’, yang dapat diartikan penyuap dan yang disuap tempatnya adalah neraka. Maka dari itu dari nash tersebut menurut saya tidak wajib mentaati pemimpin yang ketika proses pemilihannya menggunakan unsur suap atau money politic,” terang KH Zakki sambil menunjukan salah satu kitab rujukannya.
KH Zakki berpandangan nash (rujukan) tersebut bukan saja hanya berlaku untuk pemimpin dalam arti sempit. Semua jabatan publik yang didapat oleh seseorang dengan cara-cara seperti itu menurutnya secara agama hukumnya adalah sama, tidak wajib ditaati.
“Saya kira hal itu bukan hanya berlaku bagi pemimpin dalam arti sempit, melainkan juga berlaku bagi semua jabatan publik, termasuk, guru, perusahaan, BUMN dan yang lainnya. Namun ini secara agama, di luar itu saya tidak berani berpandangan,” jelasnya lagi.
Kyai berkacamata itu juga mengungkapkan, secara rasional seseorang yang mendapatkan sebuah jabatan dengan pendekatan money politic ataupun suap secara naluriah akan berusaha mendapatkan apa yang sudah ia keluarkan ketika dirinya sudah meraih jabatan tersebut, dengan cara apapun. Hal itu, kata dia, tentu saja akan memicu tindakan-tindakan lain yang secara implikatif merugikan masyarakat, seperti korupsi atau penyalahgunaan jabatan dan wewenang.
Namun, KH Zakki juga menyadari sangat sulit menghapus tindakan-tindakan yang melenceng secara agama tersebut karena pada konteksnya banyak orang yang berilmu ternyata justru diperbudak oleh hawa nafsu sehingga kepentingan duniawi menjadi hal yang dinomersatukan.
“Anda lihat sendiri, betapa banyak orang berilmu di negara ini. Namun  kenyataannya justru mereka banyak yang diperbudak oleh godaan duniawi dan akhirnya ilmunya jadi tidak ada gunanya,” tuturnya.
Untuk itu dalam era seperti saat saat ini dalam pandangannya dibutuhkan solusi komprehensif yang menyangkut multi bidang serta melibatkan banyak pihak. Bukan hanya dari agama saja, namun menurutnya juga melibatkan ulil amri atau pemimpin dengan  jalan memberikan tauladan (contoh perbuatan) yang baik.
“Agama saja saya kira belum cukup, pemerintah selaku pemegang kebijakan harus menjadi inisiator serta memiliki langkah jitu dengan memanfaatkan kapasitas yang dimilikinya. Selain itu tentu saja langkah-langkah batihiniyah tetap dikedepankan seperti perbanyak zdikir (berdoa) agar terhindar dari godaan duniawi,” pangkasnya. (Ilyas)

Sabtu, 11 Februari 2012

8 KK TERANCAM TIDAK PUNYA TEMPAT TINGGAL

PEMBANGUNAN PASAR SEDAN SISAKAN MASALAH
8 KK TERANCAM TIDAK PUNYA TEMPAT TINGGAL

TERANCAM : Salah satu rumah yang terancam digusur
     Rembang- Pembangunan pasar Sedan yang baru menyelesaikan tahapan pengurukan tanah menyisakan masalah bagi sebagian warga yang tinggal bersebelahan dengan lokasi. Sedikitnya 8 KK (kepala keluarga) terancam kehilangan tempat tinggal menyusul polemik menyangkut hak kepemilikan tanah yang saat ini ditempati oleh warga tersebut.
     Versi pemerintah, ada sekitar 2 sampai 2,5 meter tanah yang sejatinya milik pasar yang saat ini digunakan oleh beberapa warga untuk mendirikan rumah. Hal itu menurut kepala desa Sedan, Moch Saikhu, sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu atau jauh-jauh sebelum ia menjabat sebagai kepala desa.
     “Kalau yang saya dalami dari sertivikat (tanah), versi pemerintah ada sekitar 2 sampai 2,5 meter tanah yang ditempai oleh warga saat ini adalah tanah pasar. Luas tanah yang ditempati bervariasi, ada yang 2 meter, ada juga yang 2,5 meter, dan itu sudah puluhan tahun yang lalu,” terangnya.
     Saikhu mengaku dilematis mengahadapi situasi seperti saat ini, pasalnya bagaimanapun juga 8 KK yang rumahnya berdiri di atas tanah pasar adalah warganya sendiri. Namun di sisi yang lain, jelas Saikhu, pemerintah menilai yang digunakan oleh warga adalah tanah milik pasar sesuai dengan kepemilikan tanah yang sudah didaftarkan kepada badan pertanahan nasional (BPN) pada tahun 1985 dan keluar sertivikatnya pada tahun 1990.
     “Saya sebagai kepala desa bingung dan dilematis, mereka (8 KK) itu kan warga saya, tapi berdasarkan data (sertivikat) tanah itu milik pasar,” katanya sambil menunjukan sertivikat tanah pasar yang ia pegang.
Dirinya berharap polemik yang terjadi segera dicarikan jalan keluar terbaik atau “win-win solution” yang tidak merugikan pemerintah juga tidak menyengsarakan warga. Hemat dia, jalan keluar terbaik saat ini adalah memberikan tali asih atau semacam konpensasi kepada warga yang rumah nya berdiri di atas lahan pasar.
     “Saya kira jalan terbaik saat ini adalah memberikan konpensasi yang layak dan sepadan kepada warga,” tambahnya.
Mengenai besaran konpensasi yang layak dalam lingkup Kecamatan Sedan, ia tidak berani berpendapat. Namun, saat ini untuk mendapatkan satu petak tanah layak huni menurutnya dibutuhkan “budget” sekitar 25 hingga 30 juta, tergantung lokasi tanah.
     “Kalau merujuk harga tanah di Sedan, saat ini dibutuhkan dana sekitar 25 sampai 30 juta untuk mendapatkan tanah yang layak digunakan untuk membangun rumah. Saya kira hal itu perlu dijadikan bahan pertimbangan jika pemerintah berniat memberikan konpensasi kepada warga,” jelas dia.
     Sementara itu versi warga, beberapa meter tanah yang sudah digunakan sejak puluhan tahun yang lalu merupakan tanah sah milik mereka. Hal itu, menurut warga juga diperkuat oleh sertivikat tanah yang sudah mereka miliki.
Seperti diungkapkan oleh salah seorang warga, Sutaji (60) yang rumahnya dianggap oleh pemerintah berdiri di atas tanah milik pasar. Sutaji sangat yakin bahwa rumahnya berdiri di atas tanah miliknya, buka milik pasar. Ia berani membuktikan bahwa tanah itu memang benar adanya milik dia.
     “Ini memang tanah saya, sertivikat resmi ada. Saya berani membuktikan kalau memang diminta, orang ini memang tanah milik saya,” ungkapnya.
     Hal senada juga diutarakan oleh warga lainnya, Munfaridah yang mengaku heran mengapa pemerintah mengkalim bahwa tanah yang ia tempati merupakan tanah pasar. Padahal menurutnya semua dokumen kepemilikan tanah sudah ia miliki sesuai dengan sertivkat yang telah dikeluarkan dari BPN.
     Ia berharap rencana pembongkaran tanah yang sudah terlanjur dijadikan bangunan rumah urung dilakukan. Dirinya tidak akan menuntut apa-apa jika memang pemerintah melakukan pembongakaran sesuai dengan luas tanah yang tercantum pada sertivikat.
     “Kami tidak akan menuntut apa-apa jika pemerintah benar-benar melakukan pembongkaran. Syaratnya, batas tanah harus jelas sesuai dengan sertivikat,” tuturnya sambil menunjukan selokan yang ia anggap sebagi batas tanah milik pasar.
Namun, jika memang beberapa meter tanah yang sudah ia dirikan rumah benar-benar jadi dibongkar, dirinya akan menuntut ganti rugi yang sepadan dan layak sesuai dengan hak-hak yang menjadi miliknya.
     Berdasarkan informasi yang berkembang di lapangan, polemik kepemilikan tanah antara warga dan pemerintah sudah berlangsung sejak rencana revitalisasi pasar Sedan digulirkan. Namun persoalan semakin pelik karena dua pihak yang bersengketa, yakni pemerintah dan warga sama-sama memegang sertivikat dari BPN. Bedanya, sertivikat milik pemerintah terdaftar pada 25 Maret 1985 dengan luas 8645 meter persegi, sedangkan sertivikat milik warga berdasarkan informasi yang dihimpun rata-rata terbuat di atas tahun 2000. (Ilyas)