Kamis, 19 Januari 2012

TERNYATA, PSSI “MANDI” DENGAN “AIR KOTOR”


TERNYATA, PSSI “MANDI” DENGAN “AIR KOTOR”
Oleh : Moch. Ilyas al-Musthofa*)

Pedih hati ini ketika melihat konflik berkepanjangan dan tidak tentu arah yang melanda sepak bola kita tidak kunjung reda. Manuver demi manuver aneh yang dilakukan oleh para petinggi bola di tanah air ini seolah menambah luka menganga bagi semua insan yang betul-betul cinta apa-adanya sepak bola nasional. Mereka seolah tidak mau tahu apa yang menjadi ekspektasi sesungguhnya para laskar bola Indonesia.
Sungguh patut disayangkan, di tengah besarnya animo masyarakat yang kembali muncul setelah timnas U23 kita tampil menawan di perhelatan Sea Games 2011, walaupun gagal jadi juara, justru PSSI sebagai lembaga yang semestinya mewadahi sepak bola Indonesia, tidak mampu menunjukan fungsinya sebagai wadah sepak bola Indonesia.
Semua khalayak mungkin saja sudah tahu dan sepakat bahwa Nurdin Halid, sebagai ketua umum sebelumnya, tidak mampu memberikan prestasi signifikan kepada sepak bola Indonesia. Semua pun boleh berpendapat bahwa Nurdin Halid dan beberapa koleganyasecara tidak langsung juga ikut andil memperlambat laju sepak bola Indonesia. Namun, benarkah Djohar Arifin tidak lebih buruk dari pada Nurdin Halid. Benarkah Djhar Arifin laksana air bersih yang siap memandikan PSSI yang kotor,tentu saja hal itu menjadi pertanyaan paling sulit untuk bisa dijawab, sekalipun bagi Menpora Andi Malarangeng.
Di mata penulis ada dua hal subtansial nan kontroversial yang telah dilakukan oleh Djohar Arifin selaku nakhkoda baru, dengan mengatas-namakan organisasi. Pertama tentu saja pemberhentian “dengan tidak hormat” Alfred Riedl sebagai pelatih kepala tim nasional Indonesia. Sesungguhnya, bukan itu yang patut dipersoalkan. Namun, alasan pemberhentian itulah yang oleh banyak kalangan dianggap lucu dan aneh. Bagaimana tidak lucu dan aneh, santer diberitakan pada waktu itu Riedl diberhentikan karena dianggap dikontrak secara pribadi oleh salah seorang kolega dekar Nurdin Halid, bukan secara kelembagaan. Mestinya, kalaupun memang Riedl benar dikonrak secara pribadi, apa salahnya PSSI memperbaharui kontrak itu, bukan malah melengserkannya. Toh demikian, di bawah Riedl permainan timnas kita lebih rancak dan berkarakter, bandingkan saja dengan hasil racikan pelatih timnas senior saat ini, Wim Rijsbergen. Tentu saja semua penggandrung bola tanah air bisa menilainya.
Kedua, bagi-bagi tiket “gratis” kepada beberapa klub untuk tampil di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Penulis tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ada dalam benak para petinggi PSSI ketika memberikan tiket gratis untuk tampil di komptesi kasta tertinggi kepada Persibo Bojonegoro, PSM Makasar, PKT Bontang serta Persebaya Surabaya. Mari kita telaah satu persatu, Persibo dan PSM Makasar sudah jelas pada kompetisi ISL (Indonesia Super League) musim 2010/2011 menyeberang ke IPL (Indonesia Priemer League) yang pada waktu itu dianggap ilegal oleh PSSI. Tentu saja sudah jelas berdasarkan aturan yang ada, Persibo dianggap mengundurkan diri dari kompetisi, dan hukumannya adalah degradasi ke kasta kedua. PKT Bontang, semua orang juga sudah tahu bahwa klub yang berhome base di kalimantan timur itu menempati urutan nomor dua dari bawah pada ISL 2010/2011, yang tentunya harus melakukan play-off dengan peringkat empat divisi utama meperebutkan satu tiket untuk tampil di ISL. Hasilnya, PKT kalah dan harus rela tampil di kasta kedua. Lebih parah lagi yang terjadi pada Persebaya Surabaya, yang sebenarnya menempati urutan paling buncit klasemen ISL 2010/2011 dan terdegradasi, malah dapat wild card tampil di kasata tertinggi. Akibat dari semua itu adalah berontaknya sejumlah peserta ISL dengan meneruskan liga yang sudah lebih dari 4 tahun digelar itu dan oleh PSSI dianggap “liar” dan ilegal. Munculah dualisme kompetisi dengan perbedaan mencolok pada beberapa sisi, ISL yang warisan Nurdin Halid cs serta IPL gagasan baru Arifin panigoro dan orang-orang yang mendukungnya di belakang.
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Djohar Arifin melakukan hal itu. Bukankah semua hal harus berdasar kepada aturan yang ada. Untuk itu rasanya tidak masuk akal jika memasukan empat klub di atas dalam kompetisi kasta tertinggi Indonesia, hanya karena kultur dan sejarah sepak bola di daerah tersebut kental, seperti alasan yang digembar-gemborkan Djohar Arifin dan beberapa kabinetnya. Dimana letak subtansi dari sebuah kompetisi jika aturan kompetisi itu sendiri selalu ditrabas.
Kalau sudah begini, tidaklah salah jika ada ungkapan, PSSI ternyata “mandi” dengan “air kotor”. Dulu sempat digadang-gadang Djohar Arifin adalah “satrio paningitnya” sepak bola Indonesia. Bagaimana dengan saat ini, akibat dari beberapa kebijakan vital PSSI yang lucu dan aneh itu membuat carut marut sepak bola kita malah lebih parah. Perpecahan demi perpecahan semakin jelas terjadi. korban dari semua ini tentu saja adalah timnas kesayangan kita. Terbaru, karena tidak boleh memilih semua pemain terbaik yang ada di negeri ini, Rahamad Darmawan yang cukup ciamik menukangi timnas junior memilih angkat tangan, mundur dengan rasa penyesalan. Belum lagi gagalnya laga ekshibition antara timnas kita dengan salah satu klub papan atas Belanda PSV Eindhoven, karena ulah PSSI yang tidak memperbolehkan pemain ISL untuk tampil. Padahal, kerangka terbaik dari timnas kita adalah para pemain yang merumput di ISL.
Semestinya dalam kaca mata penulis, KONI (Komite Olah raga Nasional Indonesia) sebagai wadah seluruh cabang olah raga dan kemenpora sebagai stake holder pemerintah di bidang olah raga, harus memiliki good will berkenaan dengan konflik yang terjadi. sayangnya, hingga saat ini kedua instansi berwenang tersebut belum melakukan upaya-upaya nyata menyelesaikan konflik sarat kepentingan itu. Pernyataan Andi Malarangeng yang hanya “berstatemen’ bahwa semua warga Indonesia berhak memperkuat timnas, sebenarnya bukanlah solusi paling tepat pada kasus ini. Dalam hal ini seolah Kemenpora melakukan “standar ganda”, satu sisi membuat pernyataan bahwa siapapun boleh memperkuat timnas, namun sisi yang lain juga belum pernah melakukan upaya nyata menyikapi konflik sepak bola yang terjadi. Akan lebih baik KONI ataupun kemenpora mengeluarkan arahan “memaksa” yang bersifat an-interventionn kepada PSSI berkaitan dengan dualisme kompetisi. Tidak perduli kita diberikan sanksi oleh FIFA karena ada indikasi intervensi dari pemerintah, toh nyatanya hal itu perlu dilakukan, demi kebaikan sepak bola nasional. Karena sumber masalahnya adalah bukan pada klub, melainkan pada PSSI itu sendiri, yang ternyata “mandi” dengan “air kotor”.

*) Penulis adalah penikmat sejati sepak bola Indonesia dan pernah plontos karena Indonesia kalah adu pinalti dengan Thailand pada final Sea Games 1997, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar