TERNYATA, PSSI “MANDI” DENGAN “AIR KOTOR”
Oleh : Moch. Ilyas al-Musthofa*)
Pedih hati ini ketika melihat
konflik berkepanjangan dan tidak tentu arah yang melanda sepak bola kita tidak
kunjung reda. Manuver demi manuver aneh yang dilakukan oleh para petinggi bola
di tanah air ini seolah menambah luka menganga bagi semua insan yang
betul-betul cinta apa-adanya sepak bola nasional. Mereka seolah tidak mau tahu
apa yang menjadi ekspektasi sesungguhnya para laskar bola Indonesia.
Sungguh patut disayangkan, di
tengah besarnya animo masyarakat yang kembali muncul setelah timnas U23 kita
tampil menawan di perhelatan Sea Games
2011, walaupun gagal jadi juara, justru PSSI sebagai lembaga yang semestinya
mewadahi sepak bola Indonesia, tidak mampu menunjukan fungsinya sebagai wadah
sepak bola Indonesia.
Semua khalayak mungkin saja sudah
tahu dan sepakat bahwa Nurdin Halid, sebagai ketua umum sebelumnya, tidak mampu
memberikan prestasi signifikan kepada sepak bola Indonesia. Semua pun boleh
berpendapat bahwa Nurdin Halid dan beberapa koleganyasecara tidak langsung juga
ikut andil memperlambat laju sepak bola Indonesia. Namun, benarkah Djohar
Arifin tidak lebih buruk dari pada Nurdin Halid. Benarkah Djhar Arifin laksana
air bersih yang siap memandikan PSSI yang kotor,tentu saja hal itu menjadi
pertanyaan paling sulit untuk bisa dijawab, sekalipun bagi Menpora Andi
Malarangeng.
Di mata penulis ada dua hal
subtansial nan kontroversial yang telah dilakukan oleh Djohar Arifin selaku
nakhkoda baru, dengan mengatas-namakan organisasi. Pertama tentu saja pemberhentian “dengan tidak hormat” Alfred Riedl
sebagai pelatih kepala tim nasional Indonesia. Sesungguhnya, bukan itu yang
patut dipersoalkan. Namun, alasan pemberhentian itulah yang oleh banyak kalangan
dianggap lucu dan aneh. Bagaimana tidak lucu dan aneh, santer diberitakan pada
waktu itu Riedl diberhentikan karena dianggap dikontrak secara pribadi oleh
salah seorang kolega dekar Nurdin Halid, bukan secara kelembagaan. Mestinya,
kalaupun memang Riedl benar dikonrak secara pribadi, apa salahnya PSSI memperbaharui
kontrak itu, bukan malah melengserkannya. Toh demikian, di bawah Riedl
permainan timnas kita lebih rancak dan berkarakter, bandingkan saja dengan
hasil racikan pelatih timnas senior saat ini, Wim Rijsbergen. Tentu saja semua penggandrung
bola tanah air bisa menilainya.
Kedua, bagi-bagi tiket “gratis” kepada beberapa klub untuk tampil
di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Penulis tidak habis pikir, apa yang
sebenarnya ada dalam benak para petinggi PSSI ketika memberikan tiket gratis
untuk tampil di komptesi kasta tertinggi kepada Persibo Bojonegoro, PSM
Makasar, PKT Bontang serta Persebaya Surabaya. Mari kita telaah satu persatu,
Persibo dan PSM Makasar sudah jelas pada kompetisi ISL (Indonesia Super League)
musim 2010/2011 menyeberang ke IPL (Indonesia Priemer League) yang pada waktu
itu dianggap ilegal oleh PSSI. Tentu saja sudah jelas berdasarkan aturan yang
ada, Persibo dianggap mengundurkan diri dari kompetisi, dan hukumannya adalah
degradasi ke kasta kedua. PKT Bontang, semua orang juga sudah tahu bahwa klub
yang berhome base di kalimantan timur
itu menempati urutan nomor dua dari bawah pada ISL 2010/2011, yang tentunya
harus melakukan play-off dengan peringkat empat divisi utama meperebutkan satu
tiket untuk tampil di ISL. Hasilnya, PKT kalah dan harus rela tampil di kasta kedua.
Lebih parah lagi yang terjadi pada Persebaya Surabaya, yang sebenarnya
menempati urutan paling buncit klasemen ISL 2010/2011 dan terdegradasi, malah
dapat wild card tampil di kasata
tertinggi. Akibat dari semua itu adalah berontaknya sejumlah peserta ISL dengan
meneruskan liga yang sudah lebih dari 4 tahun digelar itu dan oleh PSSI
dianggap “liar” dan ilegal. Munculah dualisme kompetisi dengan perbedaan
mencolok pada beberapa sisi, ISL yang warisan Nurdin Halid cs serta IPL gagasan
baru Arifin panigoro dan orang-orang yang mendukungnya di belakang.
Apa yang sebenarnya diinginkan
oleh Djohar Arifin melakukan hal itu. Bukankah semua hal harus berdasar kepada
aturan yang ada. Untuk itu rasanya tidak masuk akal jika memasukan empat klub
di atas dalam kompetisi kasta tertinggi Indonesia, hanya karena kultur dan
sejarah sepak bola di daerah tersebut kental, seperti alasan yang
digembar-gemborkan Djohar Arifin dan beberapa kabinetnya. Dimana letak subtansi
dari sebuah kompetisi jika aturan kompetisi itu sendiri selalu ditrabas.
Kalau sudah begini, tidaklah
salah jika ada ungkapan, PSSI ternyata “mandi” dengan “air kotor”. Dulu sempat
digadang-gadang Djohar Arifin adalah “satrio paningitnya” sepak bola Indonesia.
Bagaimana dengan saat ini, akibat dari beberapa kebijakan vital PSSI yang lucu
dan aneh itu membuat carut marut sepak bola kita malah lebih parah. Perpecahan
demi perpecahan semakin jelas terjadi. korban dari semua ini tentu saja adalah
timnas kesayangan kita. Terbaru, karena tidak boleh memilih semua pemain
terbaik yang ada di negeri ini, Rahamad Darmawan yang cukup ciamik menukangi
timnas junior memilih angkat tangan, mundur dengan rasa penyesalan. Belum lagi
gagalnya laga ekshibition antara timnas kita dengan salah satu klub papan atas
Belanda PSV Eindhoven, karena ulah PSSI yang tidak memperbolehkan pemain ISL
untuk tampil. Padahal, kerangka terbaik dari timnas kita adalah para pemain
yang merumput di ISL.
Semestinya dalam kaca mata
penulis, KONI (Komite Olah raga Nasional Indonesia) sebagai wadah seluruh
cabang olah raga dan kemenpora sebagai stake holder pemerintah di bidang olah
raga, harus memiliki good will berkenaan
dengan konflik yang terjadi. sayangnya, hingga saat ini kedua instansi
berwenang tersebut belum melakukan upaya-upaya nyata menyelesaikan konflik
sarat kepentingan itu. Pernyataan Andi Malarangeng yang hanya “berstatemen’
bahwa semua warga Indonesia berhak memperkuat timnas, sebenarnya bukanlah
solusi paling tepat pada kasus ini. Dalam hal ini seolah Kemenpora melakukan
“standar ganda”, satu sisi membuat pernyataan bahwa siapapun boleh memperkuat
timnas, namun sisi yang lain juga belum pernah melakukan upaya nyata menyikapi
konflik sepak bola yang terjadi. Akan lebih baik KONI ataupun kemenpora
mengeluarkan arahan “memaksa” yang bersifat an-interventionn
kepada PSSI berkaitan dengan dualisme kompetisi. Tidak perduli kita diberikan
sanksi oleh FIFA karena ada indikasi intervensi dari pemerintah, toh nyatanya hal
itu perlu dilakukan, demi kebaikan sepak bola nasional. Karena sumber
masalahnya adalah bukan pada klub, melainkan pada PSSI itu sendiri, yang
ternyata “mandi” dengan “air kotor”.
*) Penulis adalah penikmat sejati sepak bola Indonesia dan pernah
plontos karena Indonesia kalah adu pinalti dengan Thailand pada final Sea Games
1997, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar