KISAH DI BALIK
BENCANA CERBUNG
RUMAH 20 TAHUN ITU
KINI TAK BERBEKAS
Di balik
bencana abrasi yang melanda Dusun Cerbung, Temperak Sarang, banyak tersaji
kisah-kisah memilukan dan “ngenes” menimpa warga setempat. Cukup banyak warga
yang mengalami kisah itu, dan salah seorangnya adalah Samad (56), lelaki paroh
baya itu harus merelakan rumah yang sudah ia tinggali bersama sang istri selama
20 tahun lenyap tak berbekas.
Kejadian itu
bermula pada Selasa sore (6/3) sekitar pukul 16.00 WIB, saat Samad bersama sang
istri tengah menunggui warung kopi sederhana miliknya yang terletak di pinggir
jalan pantura Desa Temperak, Sarang. Tanpa disangka dirinya mendapati kabar
dari salah seorang tetangga bahwa rumahnya roboh dihantam gelombang. Kontan,
kabar itu baginya ibarat sambaran petir di siang bolong. Dengan setengah
berlari, ia bersama istri bergegas menuju rumahnya yang hanya berjarak kurang
lebih 500 meter dari warung.
Dengan
perasaan yang tidak bisa digambarkan, ia mendapati rumah yang sudah menemaninya
selama 20 tahun itu, luluh lantah dengan kerusakan hampir 90 %. Sedih, kecewa,
marah, perasaan itu campur aduk menyesakan dadanya. Terlebih istrinya, Sumarsih
(50) yang seketika itu langsung berlinang air mata.
“Meskipun
semua warga sini sudah tahu bahwa gelombang besar sewaktu-waktu mengancam, namun
saya tidak menyangka ternyata rumah yang menemani kami selama 20 tahun itu
sudah tidak berbentuk lagi,” ceritanya sambil menerawang.
Setelah
sejenak termenung seakan tidak percaya, ia bersama sejumlah warga sepakat untuk
merobohkan rumahnya demi alasan keamanan, mengingat tingkat kerusakan cukup
parah dan tidak mungkin lagi bisa ditinggali.
“Demi keamanan,
dengan berat hati saya bersama sejumlah tetangga merobohkannya. Semua barang
serta perabotan yang masih layak digunakan oleh istri saya dikumpulkan untuk
keperluan hidup selanjutnya. Rasanya sedih mas saat melihat rumah itu roboh,
bagaimanapun juga itulah gubuk yang sudah menemani kami selama 20 tahun,” kata
Samad yang juga nyambi sebagai buruh tani musiman ini.
Samad merasa
dirinya beruntung dan harus tetap bersyukur, pasalnya saat ini dia masih
memiliki warung kopi kecil, tempat dia bersama istri mengepulkan dapur. Untuk
sementara waktu, ia merelakan dirinya bersama istri “me-multi-fungsikan” warung
kecil miliknya, sebagai warung sekaligus juga sebagai gubuk pelindung dari
panas dan hujan.
“Untuk
sementara waktu kami harus rela tinggal di warung, dan hal itu tetap kami
syukuri,” cetus bapak lima anak ini pasrah.
Kini perasaan
bingung sudah mulai menyelimuti hatinya. Dirinya takut dan khawatir tidak bisa
lagi mendirikan bangunan di bekas rumahnya yang hilang. Kebingunngan Samad
cukup beralasan, karena kondisi terkini, Rabu (14/3), tanah bekas bangunannya
sudah tidak utuh lagi dan hanya tersisa kurang dari separonya.
“Bagaimana
tidak bingung mas, bekas bangunan rumah saya saja sudah tidak utuh lagi. Jujur
saja saya kepikiran hal itu, dari mana saya harus mendapatkan biaya untuk
memperbaikinya kembali. Apalagi tanahnya sudah separo lebih tergerus, tentu
biaya tidak sedikit. Rasanya tanpa bantuan berbagai pihak sulit menjadikan rumah
saya seperti kondisi semula,” keluhnya.
Kini, hanya
satu harapannya, dan sangat mungkin harapan semua warga Dusun Cerbung. Samad
berharap dengan cara apapun penanggulangan abrasi Cerbung benar-benar sesegera
mungkin dilakukan oleh semua pihak terkait dan bukan hanya sekedar wacana,
sehingga dirinya bersama warga lainnya bisa kembali hidup normal seperti dulu,
saat gelombang dasyat belum datang menjamah. (Ilyas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar