Jumat, 16 Maret 2012

RUMAH 20 TAHUN ITU KINI TAK BERBEKAS


KISAH DI BALIK BENCANA CERBUNG
Tak berbekas : Samad bersama Kepala Dusun Cerbung, Muhadi saat melihat bekas rumahnya yang terhantam gelombang (6/3). Kondisi terkini (14/3), bekas bangunan rumah itu sudah tidak utuh lagi dan tersisa kurang dari separonya.

RUMAH 20 TAHUN ITU KINI TAK BERBEKAS

Di balik bencana abrasi yang melanda Dusun Cerbung, Temperak Sarang, banyak tersaji kisah-kisah memilukan dan “ngenes” menimpa warga setempat. Cukup banyak warga yang mengalami kisah itu, dan salah seorangnya adalah Samad (56), lelaki paroh baya itu harus merelakan rumah yang sudah ia tinggali bersama sang istri selama 20 tahun lenyap tak berbekas.
Kejadian itu bermula pada Selasa sore (6/3) sekitar pukul 16.00 WIB, saat Samad bersama sang istri tengah menunggui warung kopi sederhana miliknya yang terletak di pinggir jalan pantura Desa Temperak, Sarang. Tanpa disangka dirinya mendapati kabar dari salah seorang tetangga bahwa rumahnya roboh dihantam gelombang. Kontan, kabar itu baginya ibarat sambaran petir di siang bolong. Dengan setengah berlari, ia bersama istri bergegas menuju rumahnya yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari warung.
Dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan, ia mendapati rumah yang sudah menemaninya selama 20 tahun itu, luluh lantah dengan kerusakan hampir 90 %. Sedih, kecewa, marah, perasaan itu campur aduk menyesakan dadanya. Terlebih istrinya, Sumarsih (50) yang seketika itu langsung berlinang air mata.
“Meskipun semua warga sini sudah tahu bahwa gelombang besar sewaktu-waktu mengancam, namun saya tidak menyangka ternyata rumah yang menemani kami selama 20 tahun itu sudah tidak berbentuk lagi,” ceritanya sambil menerawang.
Setelah sejenak termenung seakan tidak percaya, ia bersama sejumlah warga sepakat untuk merobohkan rumahnya demi alasan keamanan, mengingat tingkat kerusakan cukup parah dan tidak mungkin lagi bisa ditinggali.
“Demi keamanan, dengan berat hati saya bersama sejumlah tetangga merobohkannya. Semua barang serta perabotan yang masih layak digunakan oleh istri saya dikumpulkan untuk keperluan hidup selanjutnya. Rasanya sedih mas saat melihat rumah itu roboh, bagaimanapun juga itulah gubuk yang sudah menemani kami selama 20 tahun,” kata Samad yang juga nyambi sebagai buruh tani musiman ini.
Samad merasa dirinya beruntung dan harus tetap bersyukur, pasalnya saat ini dia masih memiliki warung kopi kecil, tempat dia bersama istri mengepulkan dapur. Untuk sementara waktu, ia merelakan dirinya bersama istri “me-multi-fungsikan” warung kecil miliknya, sebagai warung sekaligus juga sebagai gubuk pelindung dari panas dan hujan.
“Untuk sementara waktu kami harus rela tinggal di warung, dan hal itu tetap kami syukuri,” cetus bapak lima anak ini pasrah.
Kini perasaan bingung sudah mulai menyelimuti hatinya. Dirinya takut dan khawatir tidak bisa lagi mendirikan bangunan di bekas rumahnya yang hilang. Kebingunngan Samad cukup beralasan, karena kondisi terkini, Rabu (14/3), tanah bekas bangunannya sudah tidak utuh lagi dan hanya tersisa kurang dari separonya.
“Bagaimana tidak bingung mas, bekas bangunan rumah saya saja sudah tidak utuh lagi. Jujur saja saya kepikiran hal itu, dari mana saya harus mendapatkan biaya untuk memperbaikinya kembali. Apalagi tanahnya sudah separo lebih tergerus, tentu biaya tidak sedikit. Rasanya tanpa bantuan berbagai pihak sulit menjadikan rumah saya seperti kondisi semula,” keluhnya.
Kini, hanya satu harapannya, dan sangat mungkin harapan semua warga Dusun Cerbung. Samad berharap dengan cara apapun penanggulangan abrasi Cerbung benar-benar sesegera mungkin dilakukan oleh semua pihak terkait dan bukan hanya sekedar wacana, sehingga dirinya bersama warga lainnya bisa kembali hidup normal seperti dulu, saat gelombang dasyat belum datang menjamah. (Ilyas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar