Senin, 05 Maret 2012

SEPAK BOLA DI LAPANGAN, BUKAN DI KANTOR PSSI


Moch. Ilyas al-Musthofa (Doc)
SEPAK BOLA DI LAPANGAN, BUKAN DI KANTOR PSSI
Oleh : Moch. Ilyas al-Mushthofa *)

Lagi-lagi PSSI selaku pemegang induk sepak bola Indonesia menorehkan luka nyeri nan mendalam bagi semua insan sepak bola nasional. Bukan hanya di kalangan seporter saja, bahkan sangat mungkin semua masyarakat Indonesia merasakan luka tersebut karena sepak bola pada konteksnya sering mewakili harga diri sebuah bangsa.
Ya, Rabu malam (29/2), merupakan momen yang bisa jadi tidak akan pernah terlupakan bagi semua insan sepak bola Indonesia. Harga diri sepak bola nasional kembali tercabik di pentas internasional lewat kekalahan telak, memalukan serta terbesar sepanjang sejarah sepak bola kita. Tidak tanggung-tanggung, gawang Indonesia, yang bermaterikan hanya dari pemain IPL (Kompetisi yang dianggap sah oleh PSSI) digelontor 10 goal tanpa balas oleh Bahrain, Negara yang sebenarnya secara keseluruhan kekuatan sepak bolanya berimbang dengan kita.
Memalukan, mungkin kata yang banyak digunakan oleh berbagai media sebagai judul menyikapi kekalahan besar tersebut memang benar adanya dan sangat tepat. Bayangkan, sebelumnya kekalahan terbesar yang pernah kita alami berlangsung 38 tahun silam atau tepatnya pada tahun 1974, ketika itu Indonesia tunduk oleh Denmark 9-0 pada pertandingan persahabatan di Kopenhagen. Namun harus diingat, Denmark merupakan salah satu kiblat sepak bola eropa, bahkan dunia dan tentu berbeda kelasnya dengan Bahrain.
Sebenarnya bukan kekalahan itu yang menjadi sumber kemarahan dan kekecewaan mayoritas bangsa Indonesia, melainkan PSSI lah yang secara sengaja dan dalam keadaan sadar, mengatas-namakan statuta FIFA mencekal pemain-pemain terbaik kita yang kebanyakan bermain di ISL, kompetisi yang sudah banyak “makan garam” dan jauh lebih “tua” dari IPL, sehingga mereka tidak diperkenankan menggunakan seragam merah putih. Bahkan mantan pelatih timnas U23 Rahmad Darmawan pun menyebut tim yang kalah 10-0 dari Bahrain bukan timnas Indonesia, melainkan IPL selection. Apa hasilnya, penonton kecewa, dan saat Indonesia tertinggal 9-0 dari Bahrain, ada seorang kawan yang menyaksikan laga lewat layar kaca berujar melalui SMS kepada penulis, “Andai Televisi harganya cuma puluhan ribu, sudah kubanting hingga tak berbentuk, karena kecewa,”. Ada juga kawan lain yang mengirim SMS, “Kayak skor futsal saja,”. Mungkin saja itu reaksi kekecewaan wajar dari seorang yang memendam cinta akan sepak bola Indonesia.
Sesungghnya jika kita telaah secara mendalam, semakin terpuruknya permainan dan prestasi timnas saat ini adalah ulah PSSI itu sendiri yang lebih suka menyibukan diri sebagai pengurus dengan citra lebih bersih dan sehat (setidaknya dari era Nurdin Halid cs), dari pada mengurus sepak bola secara sportif dengan orientasi utama menghibur, bukan malah mengecewakan masyarakat. Pengurus PSSI sekarang seolah sudah tidak lagi mau mendengar erangan dan jeritan pecinta bola nasional yang sepertinya mulai kehilangan suara untuk menegur, memohon atau berbisik lirih demi kemajuan sepak bola Indonesia. Bahkan, mungkin karena “risi” sekaligus “geli” presiden SBY pun angkat bicara dan meminta pengurus PSSI untuk tidak ribut terus serta melakukan interopeksi diri. Lagi-lagi, inilah bukti, penonton kecewa.
Dalam hal ini penulis sangat bersepakat dengan apa yang diungkapkan oleh menteri BUMN Dahlan Iskan sebelum laga Bahrain melawan Indonesia,  bahwa akar kisruh di tubuh PSSI adalah persaingan dua tokoh, Nirwan Bakrei dan Arifin Panigoro. Banyak kalangan yang sudah mafhum bahwasanya Nirwan merupakan sosok di balik Nurdin Halid saat menjabat ketua umum PSSI, sedangkan Arifin Panigoro adalah orang yang berada di belakang Djohar Arifin, saat ini. Memang tepat rasanya yang diusulkan oleh pak menteri bahwa kedua tokoh tersebut seharusnya bertarung secara ksatria dengan masing-masing membentuk atau mendanai klub sepak bola dan bertarung di lapangan bukan di ranah kebijakan PSSI.
Tentu saja jika persaingan tersebut dialihkan pada lapangan hijau situasinya akan berbalik menjadi positif bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Kita lihat di Inggris ada duo Manchester, United dan City, Spanyol dengan Real Madrid dan Barcelona serta Italia dengan Juventus dan AC Milan. Hasilnya, persaingan serta perseteruan di dalam maupun luar lapangan antara klub-klub tersebut ternyata sangat andil dalam membantu membentuk tim nasional yang tangguh pada negara-negara itu.
Bagaimana dengan Indonesia, saat ini ditengarahi Nirwan merupakan penyokong dana bagi Pelita Jaya, klub bertabur bintang anggota ISL, dan semestinya Arifin panigoro meniru langkah itu agar domain perseteruan tidak lagi salah tempat seperti sekarang. Sehingga sepak bola tidak akan dikorbankan akibat perseteruan atau pertarungan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan, karena sesungguhnya sepak bola itu di lapangan, bukan di kantor PSSI.

*) Penulis adalah wartawan Suara Rembang, bisa dijumpai di lee_chuath@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar