Moch. Ilyas al-Musthofa (Doc) |
SEPAK BOLA DI LAPANGAN, BUKAN DI KANTOR
PSSI
Oleh : Moch. Ilyas al-Mushthofa *)
Lagi-lagi PSSI selaku pemegang
induk sepak bola Indonesia menorehkan luka nyeri nan mendalam bagi semua insan sepak
bola nasional. Bukan hanya di kalangan seporter saja, bahkan sangat mungkin
semua masyarakat Indonesia merasakan luka tersebut karena sepak bola pada
konteksnya sering mewakili harga diri sebuah bangsa.
Ya, Rabu malam (29/2), merupakan
momen yang bisa jadi tidak akan pernah terlupakan bagi semua insan sepak bola
Indonesia. Harga diri sepak bola nasional kembali tercabik di pentas
internasional lewat kekalahan telak, memalukan serta terbesar sepanjang sejarah
sepak bola kita. Tidak tanggung-tanggung, gawang Indonesia, yang bermaterikan
hanya dari pemain IPL (Kompetisi yang dianggap sah oleh PSSI) digelontor 10
goal tanpa balas oleh Bahrain, Negara yang sebenarnya secara keseluruhan
kekuatan sepak bolanya berimbang dengan kita.
Memalukan, mungkin kata yang
banyak digunakan oleh berbagai media sebagai judul menyikapi kekalahan besar
tersebut memang benar adanya dan sangat tepat. Bayangkan, sebelumnya kekalahan
terbesar yang pernah kita alami berlangsung 38 tahun silam atau tepatnya pada
tahun 1974, ketika itu Indonesia tunduk oleh Denmark 9-0 pada pertandingan
persahabatan di Kopenhagen. Namun harus diingat, Denmark merupakan salah satu
kiblat sepak bola eropa, bahkan dunia dan tentu berbeda kelasnya dengan
Bahrain.
Sebenarnya bukan kekalahan itu
yang menjadi sumber kemarahan dan kekecewaan mayoritas bangsa Indonesia,
melainkan PSSI lah yang secara sengaja dan dalam keadaan sadar,
mengatas-namakan statuta FIFA mencekal pemain-pemain terbaik kita yang
kebanyakan bermain di ISL, kompetisi yang sudah banyak “makan garam” dan jauh
lebih “tua” dari IPL, sehingga mereka tidak diperkenankan menggunakan seragam
merah putih. Bahkan mantan pelatih timnas U23 Rahmad Darmawan pun menyebut tim
yang kalah 10-0 dari Bahrain bukan timnas Indonesia, melainkan IPL selection. Apa
hasilnya, penonton kecewa, dan saat Indonesia tertinggal 9-0 dari Bahrain, ada
seorang kawan yang menyaksikan laga lewat layar kaca berujar melalui SMS kepada
penulis, “Andai Televisi harganya cuma puluhan ribu, sudah kubanting hingga tak
berbentuk, karena kecewa,”. Ada juga kawan lain yang mengirim SMS, “Kayak skor
futsal saja,”. Mungkin saja itu reaksi kekecewaan wajar dari seorang yang
memendam cinta akan sepak bola Indonesia.
Sesungghnya jika kita telaah
secara mendalam, semakin terpuruknya permainan dan prestasi timnas saat ini
adalah ulah PSSI itu sendiri yang lebih suka menyibukan diri sebagai pengurus
dengan citra lebih bersih dan sehat (setidaknya dari era Nurdin Halid cs), dari
pada mengurus sepak bola secara sportif dengan orientasi utama menghibur, bukan
malah mengecewakan masyarakat. Pengurus PSSI sekarang seolah sudah tidak lagi mau
mendengar erangan dan jeritan pecinta bola nasional yang sepertinya mulai
kehilangan suara untuk menegur, memohon atau berbisik lirih demi kemajuan sepak
bola Indonesia. Bahkan, mungkin karena “risi” sekaligus “geli” presiden SBY pun
angkat bicara dan meminta pengurus PSSI untuk tidak ribut terus serta melakukan
interopeksi diri. Lagi-lagi, inilah bukti, penonton kecewa.
Dalam hal ini penulis sangat
bersepakat dengan apa yang diungkapkan oleh menteri BUMN Dahlan Iskan sebelum
laga Bahrain melawan Indonesia, bahwa
akar kisruh di tubuh PSSI adalah persaingan dua tokoh, Nirwan Bakrei dan Arifin
Panigoro. Banyak kalangan yang sudah mafhum bahwasanya Nirwan merupakan sosok
di balik Nurdin Halid saat menjabat ketua umum PSSI, sedangkan Arifin Panigoro
adalah orang yang berada di belakang Djohar Arifin, saat ini. Memang tepat
rasanya yang diusulkan oleh pak menteri bahwa kedua tokoh tersebut seharusnya
bertarung secara ksatria dengan masing-masing membentuk atau mendanai klub
sepak bola dan bertarung di lapangan bukan di ranah kebijakan PSSI.
Tentu saja jika persaingan
tersebut dialihkan pada lapangan hijau situasinya akan berbalik menjadi positif
bagi perkembangan sepak bola Indonesia. Kita lihat di Inggris ada duo
Manchester, United dan City, Spanyol dengan Real Madrid dan Barcelona serta
Italia dengan Juventus dan AC Milan. Hasilnya, persaingan serta perseteruan di dalam
maupun luar lapangan antara klub-klub tersebut ternyata sangat andil dalam membantu
membentuk tim nasional yang tangguh pada negara-negara itu.
Bagaimana dengan Indonesia, saat
ini ditengarahi Nirwan merupakan penyokong dana bagi Pelita Jaya, klub bertabur
bintang anggota ISL, dan semestinya Arifin panigoro meniru langkah itu agar
domain perseteruan tidak lagi salah tempat seperti sekarang. Sehingga sepak
bola tidak akan dikorbankan akibat perseteruan atau pertarungan pihak-pihak
tertentu yang berkepentingan, karena sesungguhnya sepak bola itu di lapangan,
bukan di kantor PSSI.
*) Penulis adalah wartawan Suara Rembang, bisa dijumpai di
lee_chuath@yahoo.co.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar